pasang banner
pasang banner
pasang banner

Wednesday, May 16, 2018

Kumpulan Cerita Sex Terbaru - Bercinta Dengan Istri Tetangga


Narasi Sex ini diawali pada saat saya ditugaskan jadi staff di pabrik pemrosesan minyak sawit di satu diantara perkebunan di Sulawesi. Ini yaitu cerita nyataku. Sebut saja namaku Alex, umurku waktu itu 27 th., belum juga menikah. Jadi seseorang staff yang baru geser ke daerah perkebunan, di mana orang-orang yg tinggal begitu berjauhan terkecuali karyawan serta staff perkebunan yg berniat di buat dalam satu perumahan, mutlak jadi pendukung paling utama opersional yg setiap saat dapat di panggil kurun waktu 24 jam.

Meskipun jadi staff, karna terlebih dulu perumahan telah di isi oleh beberapa karyawan yg telah duluan
tempati, saya tempati tempat tinggal kopel kayu (dua tempat tinggal dempet jadi satu bangunan) ke-3 dari
ujung serta agak kecil yg sesungguhnya sarana untuk karyawan umum. Manager pabrik sendiri menganjurkan
supaya mengubahkan karyawan yg telah tempati sarana tempat tinggal (tempat tinggal single beton) yang sesungguhnya
ditujukan untuk staff bujangan ataupun keluarga, tapi untuk ambil hati beberapa karyawan yang mana
nanti akan jadi bawahan saya. Pada akhirnya sayapun minta supaya diperbolehkan tempati tempat tinggal kopel
ke-3 dari tepi menghadap ke timur bertemu dengan tempat tinggal yang menghadap ke barat dibatasi oleh
jalan besar belum juga diaspal tapi telah dikerasin.

Tempat tinggal tetangga samping kiri yang agak berjarak tanah kosong selebar satu tempat tinggal dihuni oleh karyawan
lelaki yang telah berkeluarga teapi istrinya masih tetap tinggal dirumah orangtuanya, jauh dari lokasi
perkebunan. Umumnya dia pulang sekali satu bulan untuk mengantarkan upah bulanan untuk nafkah anak
istrinya.

Tempat tinggal samping kanan yang disebut pasangan tempat tinggal kopelku dihuni oleh karyawan lelaki berumur
35 th., sebut saja namanya dengan Nardi dengan istrinya yang berusia 33 th., sebut saja namanya
Hartini. Hartini meskipun bukanlah termasuk juga wanita kota, tapi begitu modis serta ikuti perkembangan zaman
sesuai dengan keadaan ekonomi. Yang paling buat saya begitu mengagumi akan yaitu bentuk payudara
yang begitu diisi serta body yang relatif montok. Dengan keadaan tempat tinggal kopel kayu sesuai sama itu biasanya
sepelan apa pun pembicaran maupun pergerakan dalam tempat tinggal juga akan merasa dirumah samping. Serta waktu itu
kebetulan Nardi masuk dalam shift-1 di bawah pimpinan saya.

Karna saya masih tetap bujangan serta memanglah bukan type yang rajin mengurus tempat tinggal, untuk makan umumnya saya
makan di warung yang ada diluar lingkungan perumahan berjarak sekitaran 500 mtr. dari perumahan
pabrik serta 50 mtr. dari pabrik. Untuk bersihkan baju, aku upayakan bersihkan sendiri meskipun cuma satu kali
satu minggu. Sering bila telah malam atau hujan, sangat terpaksa aku tidak makan nasi, cuma memercayakan mi
instant yang di rebus seadanya. Karna mungkin saja kasihan, disuatu sore sepulang kerja shift-1 pagi, kami
bertiga, aku, Nardi serta Hartini bercakap di teras, serta waktu itu Nardi sebagai bawahanku itu
merekomendasikan supaya makan di tempat tinggalnya saja sehari-hari dengan membayar seperlunya pada istrinya.
Pada akhirnya berlangsung perjanjian untuk makan sehari-hari sekalian bersihkan baju dijamin jawabi oleh Hartini.
Karna sehari-hari berdekatan serta makan dengan makin lama jalinan kamipun makin akrab dan
tidak sungkan sekali lagi bercakap berdua tanpa ada suaminya.

Awal peristiwa disuatu sore sepulang kerja sekitaran jam 16. 00, serta Nardi masih tetap lembur di pabrik untuk
mencari penambahan aku serta Hartini duduk bercakap di teras. Waktu itu aku bertanya mengapa mereka yang
telah menikah 9 th. belum juga miliki anak. Dia dengan malu-malu menceritakan kalau mereka telah sangat
inginkan anak serta hingga sekarang ini Hartini telah kontrol ke dokter serta dinyatakan tak ada problem,
serta suaminya sendiri tuturnya tidak ingin check karna terasa tak ada kelainan dalam soal fisik, dan
keperluan batin istrinya mampu tercukupi. Dari situ, makin lama perbincangan kami makin bebas
hingga saya menceritakan kalau aku sempat memiliki sisa pacar yang fisiknya agak montok seperti
Hartini, serta iseng-iseng aku menyebutkan kalau umumnya wanita yang relatif gendut mempunyai
payudara yang lembek serta turun serta rambut vagina sedikit serta beberapa tidak sering. Hartini menyanggah bahwa
tidak semua demikian, serta dia sendiri menyebutkan bentuk milik dia begitu bertolak belakang dengan
yang saya katakana. Karna saya penasaran saya katakana kalau Hartini tentu bohong, tapi dia menyangkal,

pada akhirnya dengan jantung berdebar keras takut bila Hartini geram saya minta tolong jika bersedia ingin
memandangnya. Tapi mungkin saja untuk melindungi supaya dia tidak dipandang murahan, dia menampik keras, lama
kelamaan saya memohon dengan muka pura-pura di buat kasihan ditambah argumen kalau telah kangen
banget sama pacar yang waktu itu ada di Jakarta yang umumnya sekali satu minggu berjumpa, pada akhirnya dia
menyebutkan dengan pipi merah kalau saya bisa lihat dia tapi dari jauh serta tidak bisa menyentuhnya.
Saya sudah pasti secara cepat menyepakatinya. Dengan gerak malas-malasan atau di buat pura-pura berat hati,
dia jalan menuju kamar belakang yang berdampingan dengan kamar depan serta tidak lupa tutup jendela
belakang yang bertemu dengan lahan perkebunan orang-orang untuk melindungi jika dengan kebetulan
ada orang yang bekerja di lahan itu. Lalu dia berdiri sembari tersenyum malu-malu pada saya
yang tidak ingin melepasakan pemandangan indah itu dari jendela depan yang berniat saya atur tempat
saya masih tetap di teras namun kepala saya melongok kedalam tempat tinggal seolah-olah bila orang lihat dari
halaman maupun lewat dari jalanan kami tengah bicara dengan orang yang ada didalam tempat tinggal. Jarak
pada tempat duduk saya (diperbatasan teras tempat tinggal saya dengan tempat tinggal dia) cuma berjarak sekitaran empat
mtr. saja keposisi dia berdiri di kamar belakang.

Dengan lagak seseorang jenis dia bergerak bebrapa perlahan buka kaos birunya sembari jalan ke kiri dan
kanan dengan perlahan-lahan hingga ke balik pintu kamar hingga mata saya terkadang tidak dapat melihat
pemandangan yang mengasyikkan, namun tiap-tiap ingin ke arah balik pintu saya perlahan-lahan teriak
“Tin, jangan pernah kesitu dong, gua tidak dapat saksikan nih. ”.

Kelihatannya Hartini memanglah berniat buat saya penasaran. Kaos yang ditarik ke atas lantas dijepit olejh
ketiaknya serta terlihat BH berwarna merah menyala seolah-olah tidak dapat menutupi semuanya payudara
montok putih yang menyembul keluar dari sisi atas BH nya seolah-olah memprotes kenapa dia dijepit
sangat keras. Sesudah didiamkan sekitaran 30 detik, sembari tersenyum mengedipkan mata samping pada saya,
dia juga mulai buka kancing depan BH serta membiarkan cup BH nya menjuntai kebawah.

(Pada akhirnya saya kenali kalau Hartini mempnyai ukuran 36 serta cupnya saya kurang tau, yang pasti satu telapak tangan saya masih tetap belum juga dapat menutupi samping payudaranya serta dia memiliki BH yg tidak memiliki kancing di belakang). Mata saya seolah-olah ingin keluar lihat pemandangan itu, sedang dia sendiri seolah-olah bangga memandang bagaimana saya begitu kagum dengan payudaranya dengan puting sebesar puntung rokok Sampoerna Mild serta berwarna coklat kemerahan. Dalam 30 detik seolah-olah saya

tidak bernafas tidak ingin melepas pandangan saya hingga pada akhirnya dia berseru perlahan “Udah ya, nanti sekali lagi suamiku pulang” Saya tidak bisa berkata apa pun waktu itu serta setelah membereskan bajunya, Hartini kembali pada teras seolah-olah tidak berlangsung apa-apa terkecuali berdiam diri serta duduk diteras tempat tinggalnya sedang saya telah geser duduknya kembali pada teras tempat tinggal saya. Sesudah sebagian lama, perlahan-lahan berkata, “Jangan bilangin sama siapapun juga ya? ” nampaknya Hartini begitu ketakutan jika di ketahui orang yang lain.
“Jelas dong, masak gua bilangin sama orang, kan gua juga memikul resiko” Tidak lama kemudian dari jauh telah terlihat kalau Nardi telah pulang dengan beberapa rekannya yang turut lembur. Kami juga berupaya bicara normal tidak perlahan-lahan sekali lagi namun membahas yang beda.

Sesudah menaiki tangga, Nardi segera menyerahkan tas bekalnya pada Hartini serta Hartini langsung
membawa masuk sembari memberesi tempat bekal suaminya. Saya serta Nardi bercakap seperti layaknya
bertetangga meskipun dia tetaplah menyimpan hormat karna bagaimanapun bila di pabrik dia jadi bawahan
saya.

Malamnya saya selalu pikirkan persitiwa barusan sore, mengapa dia bersedia tunjukkan suatu hal yang
harusnya cuma bisa diliat oleh suaminya, walau sebenarnya dia menyebutkan dalam soal kenikmatan batin dia
mengaku. Dalam hati saya punya niat untuk lebih jauh., sekali lagi mengingat kalau Hartini tidak geram.
Besoknya kurang lebih dalam kondisi yang sama sepulang kerja kami bercakap kembali, serta saya beranikan untuk
memancing sekali lagi.
“Kemarin memanglah benar ya, miliki anda memanglah sangat bagus bukanlah karna BH”.
Dia tersenyum manis sedikit malu mungkin saja terasa bangga dengan pujian yang keluar dari mulut saya.
“Tapi saya tidak percaya kalau rambut bawah anda bukanlah seperti yang saya saksikan miliki sisa pacarku
dulu”

Dengan masih tetap tertawa kecil dia melakukan perbaikan rambutnya dengan ke-2 tangannya.
“Kan tempo hari aku katakan apa, saat ini minta itu, saat ini, besok minta yang beda sekali lagi dong Awas lho
kelak ketahuan pacarmu yang saat ini di Jakarta, tau rasa deh. ”
“Nggak mungkin saja dia paham, terkecuali anda yang bilanginnya”

 Meskipun saya menjawab menyebutkan tidaklah perlu cemas, tapi dalam hati saya ajukan pertanyaan mengapa juicetru
pacar saya yang dia khawatirin bukannya sendiri atau suaminya. Karena bujukan serta rayuan seseorang
lelaki meskipun bukanlah seseorang pakar, dia berkata perlahan

“Tapi ingat ya, cuma sebentar serta sekali ini saja ya. Aku takut kelak ketahuan sama suamiku, dapat dibunuh
aku kelak. Sekalian pantau orang yang lain mana tau ada yang ingin ke sini”
Saya cuma mengangguk cepat, tidak sabar lihat pemandangan yang juga akan saya saksikan.
Perlahan-lahan Hartini jalan menuju kamar belakang sembari saya nikmati pantatnya seperti pantat bebek
tengah jalan. Pemandangan dari belakang buat penis saya telah mulai naik serta saya langsung
membereskan tempat kontol saya supaya tidak sakit. Sesampai di kamar dia juga kelihatannya agak gugup
mengintip seputar luar tempat tinggal dari celah papan. Sebentar lalu dia menambah rok katun berwarna
hitam setinggi lutut hingga celana dalam merahnya terlihat. Mata saya seolah tidak ingin berkedip takut
melupakan pertunjukan gratis itu. Dia memandang saya dengan mata gugup, kelihatannya menginginkan pertunjukan
itu.


“Lex, telah saksikan kan” teriaknya perlahan-lahan seperti berbisik.
“Kan belum juga di buka, barusan telah janji bisa saksikan dari jauh. Bila tidak aku saja deh yang buka ke situ ya”
sahutku dengan perlahan-lahan sembari mata mengawasi seputar, tapi saya percaya masih tetap kedengaran pada dia.
“Jangan …jangan ke sini, disitu saja. ”dia menjawab kelihatannya ketakutan. Saya juga menganggukkan kepala.
Lalu dia melepas sekali lagi rok yang terlebih dulu diangkat hingga jatuh seperti tempat umum, serta kedua
tangannya masuk dari bawahnya turunkan CD hingga terlepas, dengan samping tangan masih tetap memegangi
CD lalu Hartini mengangkat roknya kembali pada atas. Ya ampun……

Vaginanya kelihatannya ditutupi oleh pegunungan hitam. Dia memandang saya serta mengangguk dengan ekspresi
memohon kesepakatan supaya usai. Saya sendiri berupaya supaya lebih lama sekali lagi melihat, tapi 15 detik
lalu dia segera membungkuk serta menggunakan kembali CD nya. Lalu dia buka pintu kamar
belakang untuk menyingkirkan keraguan suaminya jika pulang nanti serta segera menuju dapur
untuk memberesi makan malam kami nanti serta tidak berjumpa sekali lagi hingga kami makan malam. Dalam
hati saya mulai percaya kalau saya tidak bertepuk samping tangan. Sampai kini jika saya terasa sudah
horny, sayang melampiaskan dengan masturbasi di kamar sembari tiduran maupun di kamar mandi.

Sejak peristiwa itu saya mulai berani memeluk, mencium ataupun meraba sekalian menciumi buah
dadanya pada saat giliran Hartini ingin mengantarkan baju bersih serta membuat di almari bajuku yang
saya letakkan di kamar tidurku. Umumnya pada saat dia ingin ngantar baju dimuka pintu kamar biasanya
dia telah kasih kode jari di mulut, berikan informasi tidak aman. Jika aman dia hanya senyum kecil, saya
mengartikan isyarat aman. Sewaktu seperti tersebut umumnya saya dapat nikmati bibir ataupun teteknya.
Terkadang karena sangat gemasnya saya tidak sadar menghisap puting buah dadanya hingga dia kesakitan serta berbisik
“Lex…. Janganlah keras-keras. Memang tidak sakit. ”

Umumnya saya segera mohon maaf serta mengelus-elus buah dadanya dengan mesra. Ada saatnya Hartini
tidak ingin di cium karna tengah pakai pewarna bibir, tuturnya kelak bila di cium dapat hilang, suaminya bisa
berprasangka buruk, Hingga hingga pada saat memberi uang makan serta bersihkan bajuku juga senantiasa saya menaruhnya
sendiri ditengah buah dadanya baru saya tutup sendiri BH nya serta disudahi dengan senyum serta cium.
Puncak perselingkuhan kami yaitu waktu saya ingin masuk shift sore, masuk jam empat sore serta biasanya
pulang jam 12 malam, bila buah sawit tengah panen raya serta menumpuk umumnya diteruskan hingga pagi.
Tiap-tiap shift sore umumnya saya juga akan pulang sekitaran jam 7 atau 8 malam untuk malam, sesaat bisa
bertukaran dengan asistenku, umumnya jatah satu jam. Serta suami Hartini yakni Nardi umumnya karna tidak
miliki kendaraan, malas pulang serta telah membawa bekal dari tempat tinggal sore harinya. Sore itu sekitaran jam 2
siang saya telah mandi serta bersiap-siap ingin pergi, karna jadi kepala shift mesti koordinasi dulu
dengan kepala shift pagi, serta saya masih tetap menggunakan handuk bertelanjang dada di kamar, Hartini datang ke
kamar sembari menyimpan jari di atas bibir, tandanya tidak aman. Saya berbisik,
“Emang di mana suamimu”

“Itu masih tetap sekali lagi tidur di kamar” jawabnya perlahan-lahan. Hartini juga jalan menuju almari bajuku sambil
tangan kirinya mencubit puting tetekku. Saya terasa geli, serta ingin membalas mencubit teteknya. Dia
menghindar sembari berbisik,
“Jangan saat ini, nanti malam saja, saat pulang makan”
“Dimana”

“Ntar ke kamar saja segera, pintu belakang tidak kukunci, cuma ditutupkan saja”
“Tapi kelak janganlah pakai apa-apa ya. “ godaku perlahan sembari main mata
Saya diam pikirkan kata-katanya, Sembari jalan ke teras saya masih tetap luangkan meraba pantatnya
hingga dia menepiskannya. Saya kaget pikirkan ada apa Hartini jadi mengundang saya malam-malam
ke kamarnya.

Hingga di pabrik saya tidak konsentrasi dalam mengawasi karyawan lakukan pekerjaan semasing dan
masih tetap pikirkan apa maunya Hartini. Saya berniat agak lebih lama pulang makan malamnya sekitaran jam
8. 30 malam, serta situasi perumahan telah agak sepi karna gerimis dari sore. Saya segera menempat
motor dinas ke belakang tempat tinggal supaya tidak menyolok dari luar. Saya masuk tempat tinggal serta menyalakan lampu
sebentar lalu dari celah papan, saya mengintip tempat tinggal samping serta terlihat tempat tinggal begitu gelap,
karna umumnya ketika tidur memanglah rutinitas lampu dimatikan. Pandangan orang dari luar bila lampu
telah dimatikan umumnya malas bertamu sekurang-kurangnya bila tidak betul-betul perlu sekali.
“Tin….. telah tidur ya, ke sini dong? ” teriakku perlahan, hingga 2 x saya berteriak perlahan, Hartinipun
mendekat dibatasi oleh papan pembatas berbisik

“Pintu belakang tidak dikunci, Alex saja yang ke sini”
Sayapun jalan menuju kebelakang tempat tinggal sembari mematikan lampu ruangan tengah, hingga dari luar
terlihat saya telah pergi kembali pada pabrik. Karna begitu gelap saya membiasakan mata dahulu, baru
mengawasi seputar. Mengingat kaos kerja yang saya gunakan berwarna putih, saya buka dan
menyangkutkan di pintu belakang samping dalam. Lantas berjingkat-jingkat perlahan-lahan saya menuju pintu
belakang tempat tinggal Hartini. Dengan begitu hati-hati saya mendorong pintu, takut keluarkan nada dan
jalan perlahan sekali sembari menahan nafas, takut getaran kaki saya di lantai papan kedengaran sama orang
beda. Masuk kamar depan, Hartini terlihat tidur dengan menggunakan kain sarung hanya dada serta kaos
you can see berwarna pink yang dapat saya saksikan dari sinar lampu jalan dimuka tempat tinggal masuk dari celah
papan kayu. Hartini berpura-pura pejamkan mata. Saya segera jongkok di sebelahnya serta meraba
bua dadanya tanpa ada buka kain sarungnya. Dia melirik sembari tangannya mencubit pipi saya. Saya
lanjutkan dengan mencium bibirnya. Selang beberapa saat dia juga membalas serta tangan saya mulai
turunkan kain sarungnya serta manaikkan kaos hingga buah dadanya terlihat penuh. Waktu itu Hartini
tidak menggunakan BH sekali lagi seperti godaan saya siang harinya. Agak lama kami berciuman sembari tangan
kananku meremas-remas ke-2 buah dadanya. Saya terasa sangatlah horny demikian halnya pandangan saya

pada. Hartini.
“Tin, ingin tidak kita masukin, nanti gua buang di luar deh. ” Bisikku
“Lex, janganlah dibuang diluar” jawabnya perlahan sembari memelukku lebih keras sembari mencium pipi kiriku.
“Ntar bila hamil bagaimana dong, dapat bahaya kita” sahutku.
Tanganku masih tetap selalu memutar-mutar putting kirinya. Tangan kiriku memangku lehernya sembari menahan
berat badanku, karna waktu itu saya masih tetap jongkok.
“Biar saja. Aku kan miliki suami. Bila aku hamil kan wajar”
“ Tapi bila nanti anaknya lahir serupa gua bagaimana dong, suamimu dapat berprasangka buruk loh”
Dia memandang saya memelas, seperti memohon pertolongan, saya terasa kasihan lihat berwajah.
“Tolongin aku ya Lex, pokoknya dikeluarin di dalam saja. Saya tanggung anda akan tidak apa-apa. Aku
ingin hamil Lex. Aku menginginkan tunjukkan pada keluarga suamiku kalau aku tidak mandul. ”
Kelihatannya dia memohon. Saya ingat kalau Hartini sempat narasi kalau sebagian keluarga suaminya diamdiam

telah menyarankan supaya suaminya mencari istri sekali lagi bila menginginkan miliki anak.
“Kamu telah yakin” Saya menginginkan menyatakan sekali lagi kalau dia memanglah meninginkannya.
“Iya Lex, tolongin aku ya” bisiknya segera mencium bibirku. Saya juga membalas ciumannya setelah
percaya dia benar-benar sangat menginginkannya. Sembari tetaplah berciuman tanganku mulai menarik turun kain
sarungnya hingga terlepas melalui kaki. Saya melepas bibirku turun ke puting buah dadanya sambil
tangan kananku meraba pangkal paha. Kelihatannya CD Hartini telah agak basah. Hartini mendesah pelan
sembari tangannya masih tetap memeluk kepalaku, sekali-kali berupaya menghimpit kearah teteknya yang sedang
saya putar-putar gunakan lidah, sembari tanganku menarik CD nya turun terlepas dari kakinya dibantu dengan
gerak pantat Hartini yang terangkat. Mataku sesekali melirik ke arah vagina yang ditumbuhi rambut
yang lebat serta tanganku meraba-raba menyisihkan rambut yang lebat supaya tanganku dapat masuk ke lobang
vaginanya. Refleks tangan kiri Hartini menangkap tangan kananku serta menariknya ke atas tanpa
melepaskannya sekali lagi. Waktu itu mulutku mulai turun ke arah perut, namun sesampai pusar Hartini menampik dan
menahan kepalaku supaya jangan pernah ke memeknya. Saya berupaya bebrapa perlahan menarik kepalaku sampai
mulutku nyaris mencium vaginanya. Mendadak Hartini bangun duduk. Saya kaget serta takut dia geram.
Sembari menatapku dia melingkarkan tangannya ke leherku, berbisik.

“Jangan cium, bau. Aku nggak mau dicium itu.”
“Nggak bau kok Tin, malah harum. Sebentar aja ya” jawabku merayu sambil cium lehernya. Hartini
menggelinjing dan sambil mendesah pelan
“Pokoknya jangan ya Lex, kamu masukin aja punya kamu”
Tangannya meraba ke arah penisku, yang sudah menegang tapi tidak maksimum karena kurang konsentrasi,
setiap saat harus mengawasi suara di sekeliling rumah. Saat itu saya malah masih memakai celana kerja
telanjang dada. Hartini berusaha membuka gesper, tapi agak kesulitan. Saya bangun dan membuka sendiri
sampai benar-benar telanjang. Lalu saya tunjukkan penisku kepada Hartini, dia membuang muka. Saya
memegang kepalanya bermaksud agar dia mau mengoral penisku, tapi dia bertahan tidak mau. Akhirnya
kami kembali berbaring di tempat tidur menetralkan suasana sambil kembali memulai cumbuan. Akhirnya
saya dan Hartini sepertinya sudah kembali sama-sama horny, dan saya putuskan mengangkat kaki kananku
merenggangkan kedua kakinya. Sedikit demi sedikit kakinya mulai ngangkang sampai kedua kakiku bisa
masuk, siap untuk memasuki lubang surga. Tapi Hartini memelukku dengan erat sampai mulutnya
menyumpal mulutku dan membisiki,

“Kita di lantai aja ya. Jangan disini. Soalnya tempat tidurnya berisik nanti”
Tanpa menjawab saya langsung bangun turun dari tempat tidur dan Hartini ikut bangun sambil bawa sebuah
bantal dan berbaring merenggangkan kakinya di lantai. Saya yang sudah nggak sabaran langsung
mengambil posisi. Tak lupa kaos pinknya saya buka sampai lepas melewati kepala. Tangan kanan saya
memegang penisku mengarahkan ke vagina yang sudah banyak mengeluarkan cairan. Sesaat sesudah
menyentuh bibir vaginanya, kami berdua saling memandang, seakan-akan meminta persetujuan, dan
mulutku mencium mulut Hartini dan langsung dibalas sambil memeluk erat.
“Tin, gua masukin ya. Nggak nyesal kan?” Bisikku kembali memastikan.
Hartini tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala pelan, tapi terasa bahwa dia sudah merespon, pelanpelan

saya masukin penisku yang berukuran diameter 4 cm dan panjang 12 cm. Saya menahan nafas
begitupun Hartini menikmati saat indah tersebut. Walaupun vagina Hartini sudah mengeluarkan banyak
cairan, sepertinya masih bisa gua rasakan betapa saat memasuki memeknya terasa nikmat sampai sesudah
masuk semua, saya diamkan sambil memandang muka Hartini yang memejamkan matanya. Sesaat
kemudian dia membuka matanya dan langsung buang muka merapatkan pelukannya sambil mencium
leherku. Dengan bertumpukan kedua siku di lantai saya mulai menaikturunkan pantatku, sampai kedengaran
bunyi suara dari lobang vagina Hartini seperti suara tepukan tangan di air.
“plok…plok….plok……”

Beberapa lama saya menggenjot penisku, tiba-tiba kedua kaki Hartini menjepit keras kedua kakiku sampai
saya kesusahan mengangkat pantatku, sampai saat pantatku kuangkat terasa berat karena pantat Hartini juga
ikut terangkat dan kurasakan leherku digigit. Saya berpikir mungkin dia sudah orgasme, tapi kurasakan juga
ada yang mendesak dari penisku.
“ Kamu udah keluar duluan ya” tanyaku karena jepitan kakinya terasa semakin lama semakin lemah sampai
kini telapak kakinya sudah menapaki lantai kayu lagi seperti semula. Dia tidak menjawab hanya mencaricari
mulutku dengan mulutnya dan melumat lidahku.
“Gua udah mau keluar nih, keluarin diluar aja ya?” bisikku sesaat setelah bisa melepaskan lidahku dari
mulutnya, memastikan karena saya masih takut resikonya di kemudian hari.
“Tolongin aku Lex..aku ingin sekali hamil.” Suaranya seperti mau nangis meminta. Tapi tangan kanannya
sudah ditaruh diatas pantatku sepertinya menjaga agar nantinya saya tidak melepaskan penisku dari
vaginanya.

“Ya udah, tapi kamu harus jaga rahasia ini baik-baik ya?” jawabku
“Iya…iya…nggak usah khawatir, tapi janji jangan dibuang di luar ya” bisiknya.
Saya nggak jawab lagi tapi mulai menggenjot memeknya lagi yang sepertinya semakin kurang menjepit
karena sudah orgasme seraya mulutku mengulum lidahnya. Beberapa saat kemudian aku membisiki
telinganya,

“Gua udah mau keluar” sambil genjotanku semakin cepat dan tangan kanannya menekan pantatku semakin
keras ditambah kedua kakinya menekan belakang pahaku dari atas sambil tangan kirinya memeluk leherku
dengan ketat, sampai akhirnya
“ouchhhhhh……” mulutku mengulum mulut Hartini seakan mau menghabiskan saat itu. Dan terasa ada
yang keluar dari kontolku membasahi memek Hartini.


“Crooot….crooot…croooooot…”
Sampai rasanya tidak ada lagi yang dikeluarkan baru saya menghentikan genjotanku dan diam bertumpukan
kedua siku tangan dan penisku sengaja saya tumpukan ke vagina Hartini. Saya terdiam tidak bergerak,
sambil memandangi mukanya yang terpejam. Kukecup bibirnya dan berbisik.
“Tin, aku balik ya, kelamaan ntar orang lain bisa curiga”
“Makasih ya Lex, makan malamnya sudah aku taruh dirumahmu tadi sebelum kamu dating.” Jawabnya
pelan.

Tetapi ketika saya mau melepaskan penisku dari vaginanya, dia meraih leherku dan sesaat mencium bibirku
dengan mesra. Ketika sudah dilepaskan aku langsung bangkit berdiri dan mencari celanaku yang saya lupa
taruh dimana. Hartini masih tiduran dan merapatkan kakinya memandang saya dan mengarahkan
telunjuknya ke tempat tidur, tapi yang saya lihat malah CD nya, dan mengambil dengan tangan kiri untuk
diserahkan kepada Hartini , tapi dia malah menarik tangan kananku dan tangan kanannya menyambut CD
seraya menyuruhku pelan agar jongkok Saya mengikuti saja tanpa tahu kemauannya. Hartini melap
kontolku yang masih basah dengan cairanku yang bercampur dengan cairannya sendiri dengan CD putihnya,
saya tersenyum dan meremas buah dadanya dengan tangan kiri. Kemudian telunjuknya menunjukkan
dimana tadi celana saya lepaskan. Sesaat sesudah saya memakai celana, saya jongkok untuk mencium dia
dan pamit sekalian berterima kasih atas bonus cuci pakaian dapat cuci penis, dia tersenyum sambil mencubit
pelan pipi kiriku.

Begitulah sampai sekitar 6 bulan kemudian kami sering melakukan hubungan suami istri setiap ada
kesempatan, walaupun tidak setiap berhubungan Hartini mendapat orgasme karena kadang saya merayu
dengan alasan biar lebih cepat hamil walaupun dia sedang tidak menginginkannya atau takut ketahuan orang
lain yang penting birahiku terpuasakan. Enam bulan kemudian saya menikah dan istriku menjadi seorang
ibu rumah tangga yang tinggal bertetangga dengan Hartini, dan anehnya empat bulan sesudah menikah istri
saya hamil. Saya merasa kasihan kepada Hartini, walaupun kami berhubungan sekitar enam bulan seperti
suami istri belum hamil-hamil juga bahkan sampai saya mutasi ke Jakarta kembali. Dia hanya sedih menatap
kepergian kami sewaktu mau meninggalkan perumahan tanpa kata-kata perpisahan.

No comments:

Post a Comment