pasang banner
pasang banner
pasang banner

Sunday, May 13, 2018

Ngentot Adik Ipar




 Ini berlangsung dengan salah seseorang adek iparku yang memanglah mempunyai nafsu birahi yang besar, narasi panas saat ini diawali waktu aku menegur adek iparku…. “Masak apa Yen? ” kataku sedikit mengagetkan adik iparku, yang waktu itu tengah berdiri sembari memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur. “Ngagetin saja sich, nyaris saja terkena tangan nih, ” tuturnya sembari menunjuk ibu jarinya dengan pisau yang dipegangnya. “Tapi tidak sampai keiris kan? ” tanyaku menggoda. “Mbak Ratri mana Mas, kok tidak keduanya sama pulangnya? ” tanyanya tanpa ada melihatku. “Dia lembur, kelak aku jemput terlepas magrib, ” jawabku. “Kamu tidak ke universitas? ” aku balik ajukan pertanyaan. “Tadi sebentar, tapi tidak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat. ” “Aauww, ” teriak

Yeyen mendadak sembari memegangi satu diantara jarinya. Aku segera menghampirinya, serta kulihat memanglah ada darah menetes dari jari telunjuk kirinya. “Sini aku bersihin, ” kataku sembari membungkusnya dengan serbet yang aku capai demikian saja dari atas meja makan.

Yeyen terlihat meringis waktu aku menetesinya dengan Betadine, walaupun lukanya cuma luka irisan kecil saja sesungguhnya. Sebagian waktu aku menetesi jarinya itu sembari kubersihkan sisa-sisa darahnya. Yeyen terlihat tampak canggung waktu tanganku selalu membelai-belai jarinya. “Udah ah Mas, ” tuturnya berupaya menarik jarinya dari genggamanku. Aku pura-pura tidak mendengar, dam masih tetap selalu mengusapi jarinya dengan tanganku. Aku lalu menuntun dia untuk duduk di kursi meja makan, sembari tanganku tidak melepas tangannya. Sedang aku berdiri persis di sebelahnya. “Udah tidak apa-apa kok Mas, Terima kasih ya, ” tuturnya sembari menarik tangannya dari genggamanku. Kesempatan ini ia sukses melepaskannya. “Makanya janganlah ngelamun dong. Anda sekali lagi inget Ma si Novan ya? ” godaku sembari menepuk-nepuk lembut pundaknya. “Yee, tidak ada hubungan, tau, ” jawabnya cepat sembari mencubit punggung lenganku yang masih tetap ada dipundaknya.

Kami memanglah akrab, karna umurku dengan dia cuma terpaut 4 th. saja. Aku sekarang ini 27 th., istriku yang kakak dia 25 th., sedang adik iparku ini 23 th.. “Mas bisa bertanya tidak. Jika cowok telah deket Ma teman cewek barunya, lupa tidak sich Ma pacarnya sendiri? ” tanyanya mendadak sembari menengadahkan mukanya ke arahku yang masih tetap berdiri mulai sejak barusan. Sembari tanganku tetaplah meminjat-mijat perlahan pundaknya, aku cuma menjawab, “Tergantung. ” “Tergantung apa Mas? ” desaknya seperti penasaran. “Tergantung, jika si cowok ngerasa teman barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya dapat saja dia lupa Ma pacarnya, ” jawabku sekenanya sembari terkekeh. “Kalo Mas sendiri bagaimana? Misalnya gini, Mas miliki teman cewek baru, trus tu cewek nyatanya lebih cantik dari pacar Mas. Mas dapat lupa tidak Ma cewek Mas? ” bertanya dia. “Hehe, ” aku cuma ketawa kecil saja mendengar pertanyaan itu. “Yee, jadi ketawa sich, ” tuturnya sedikit cemberut. “Ya dapat saja dong. Buktinya saat ini aku deket Ma anda, aku lupa deh jika aku telah miliki istri, ” jawabku sekali lagi sembari tertawa. “Hah, awas lho ya. Nanti Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri, ” tuturnya sembari menahan tawa. “Gih bilangin saja, memang anda lebih cantik dari Mbak anda kok, ” kataku terbahak, sembari tanganku mengelus-ngelus kepalanya. “Huu, Mas nih di tanya serius jadi becanda. ” “Lho, aku memang serius kok Yen, ” kataku sedikit berpura-pura serius.

Saat ini belaian tanganku di rambutnya, telah beralih sedikit jadi seperti remasan-remasan gemas. Dia mendadak berdiri. “Yeyen mo lanjutin masak sekali lagi nih Mas. Terima kasih ya dah diobatin, ” tuturnya. Aku cuma membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia dari belakang, benar-benar cantik serta sintal banget body dia. Demikian fikirku waktu itu. Aku mendekati dia, kesempatan ini berpura-pura menginginkan menolong dia. “Sini agar aku bantu, ” kataku sembari mencapai sebagian lembar tempe dari tangannya. Yeyen seakan tidak ingin dibantu, ia berupaya tidak melepas tempe dari tangannya. “Udah ah, tidak usah Mas, ” tuturnya sembari menarik tempe yang telah aku pegang beberapa. Waktu itu, tanpa ada kami sadari nyatanya cukup lama tangan kami sama-sama menggenggam. Yeyen terlihat sangsi untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku lihat mata dia, serta tanpa ada berniat pandangan kami sama-sama bertabrakan. Lama kami sama-sama berpandangan. Perlahan-lahan mukaku kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget dengan tingkahku kesempatan ini, namun tidak berupaya sedikit juga menghindar. Kuraih kepala dia, serta kutarik sedikit supaya lebih mendekat ke mukaku. Cuma hitungan detik saja, saat ini bibiku telah menyentuh bibirnya. “Maafin aku Yen, ” bisiku sembari selalu berupaya mengulum bibir adik iparku ini. Yeyen tidak menjawab, tidak juga berikan tanggapan atas ciumanku itu. Kucoba selalu melumati bibir minimnya, namun ia belum juga memberi tanggapan juga.

Tanganku tetap masih memegang sisi belakang kepala dia, sembari kutekankan supaya mukanya makin rapat saja dengan mukaku. Sesaat tangaku yang satu, saat ini mulai kulingkarkan ke pinggulnya serta kupeluk dia. “Sshh, ” Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan untuk jilatan lidahku yang selalu menyentuh serta menciumi bibirnya. Seperti tanpa ada ia sadari, saat ini tangan Yeyen juga telah melingkar di pinggulku. Serta lumatanku juga telah mulai direspon olehnya, walaupun masih tetap bebrapa sangsi. “Sshh, ” dia mendesah sekali lagi. Mendengar itu, bibirku makin ganas saja menjilati bibir Yeyen. Perlahan-lahan tapi tentu, saat ini dia juga mulai menyeimbangi ciumanku itu. Sesaat tangaku dengan liar meremas-remas rambutnya, serta yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu. “Aahh, mass, ” kembali dia mendesah. Mendengar desahan Yeyen, aku seperti makin hilang ingatan saja melumati serta kadang-kadang menarik serta kadang-kadang menghisap-isap lidahnya. Yeyen makin tampak mulai terangsang oleh ciumanku. Ia kadang-kadang tampak menggelinjang sembari kadang-kadang juga terdengar mendesah. “Mas, telah ya Mas, ” tuturnya sembari berupaya menarik berwajah sedikit menjauh dari wajahku.

Aku hentikan ciumanku. Kuraih ke-2 tangannya serta kubimbing untuk melingkarkannya di leherku. Yeyen tidak menampik, dengan begitu bebrapa sangsi sekali ia melingkarkannya di leherku. “Yeyen takut Mas, ” bisiknya tidak jauh dari ditelingaku. “Takut mengapa, Yen? ” kataku 1/2 berbisik. “Yeyen tidak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas, ” tuturnya lebih perlahan. Aku pandangi mata dia, ada keseriusan saat ia menyebutkan kalimat paling akhir itu. Tapi, kelihatannya aku tidak sekali lagi memperdulikan apa yang dia kuatirkan itu. Kuraih dagunya, serta kudekatkan sekali lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen dengan masih tetap menatapku tajam, tidak berupaya berontak saat bibir kami mulai bersentuhan kembali. Kucium kembali dia, serta dia juga perlahan mulai membalas ciumanku itu. Tanganku mulai meremas-remas kembali rambutnya. Bahkan juga, saat ini makin turun serta selalu turun sampai berhenti persis dibagian pantatnya. Pantanya cuma terbalut celana pendek tidak tebal saja waktu aku mulai meremas-remasnya dengan nakal. “Aahh, Mas, ” desahnya. Mendengar desahannya, tanganku makin liar saja memainkan pantat adik iparku itu. Sesaat tangaku yang satunya, masih tetap berupaya mencari-cari payudaranya dari balik kaos oblongnya. Ah, pada akhirnya kudapati juga buah dadanya yang mulai mengeras itu. Dengan tempat kami berdiri sesuai sama itu, batang penisku yang telah menegang dari barusan ini, dengan gampang kugesek-gesekan persis di mulut vaginanya.

Meski masih tetap keduanya sama terhalangi oleh celana kami semasing, namun Yeyen kelihatannya bisa rasakan sekali tegangnya batang kemaluanku itu. “Aaooww Mas, ” ia cuma berujar sesuai sama itu saat makin kuliarkan pergerakan penisku persis dibagian vaginanya. Tanganku saat ini telah memegang sisi belakang celana pendeknya, serta perlahan mulai kuberanikan diri untuk coba turunkannya. Yeyen kelihatannya tidak memprotes saat celana yang ia gunakan makin kulorotkan. Otakku makin ngeres saja saat semua celananya telah turun semua di lantai. Ia berupaya menaikan satu diantara kakinya untuk melepas lingkar celananya yang masih tetap melekat di pergelangan kakinya. Disamping itu, kami masih tetap selalu berpagutan seperti tidak ingin melepas bibir kami semasing. Dengan tempat Yeyen telah tidak bercelana sekali lagi, beberapa gerakan tanganku dibagian pantatnya makin kuliarkan saja.

Ia kadang-kadang menggelinjang waktu tanganku meremas-remasnya. Untuk percepat rangsangannya, aku capai satu diantara tanganya untuk memegang batang zakarku meski masih tetap terhambat oleh celana jeansku. Perlahan-lahan tangannya selalu kubimbing untuk membukakan kancing serta lalu turunkan resleting celanaku. Aku sedikit menolong untuk memudahkan pergerakan tangannya. Sebagian waktu lalu, tangannya mulai turunkan celanaku. Serta oleh tanganku sendiri, kupercepat melepas celana yang kupakai, sekalian celana dalamnya. Saat ini, tetap dalam tempat berdiri, kami telah tidak sekali lagi menggunakan celana. Cuma bajuku yang menutupi sisi atas tubuhku, serta sisi atas badan Yeyen juga masih tetap ditutupi oleh kaosnya. Kami memanglah tidak buka itu. Tanganku kembali menuntun tangan Yeyen supaya memegangi batang zakarku yang telah menegang itu. Saat ini, dengan leluasa Yeyen mulai memainkan batang zakarku serta mulai mengocok-ngocoknya perlahan-lahan. Ada seperti tegangan tingi yang kurasakan waktu ia mengocok serta kadang-kadang meremas-remas biji pelerku itu. “Oohh, ” tanpa ada sadar aku mengerang karna enaknya diremas-remas sesuai sama itu. “Mas, telah Mas. Yeyen takut Mas, ” tuturnya sembari sedikit merenggangkan genggamannya di batang kemaluanku yang sangatlah menegang itu. “Aahh, ” tapi mendadak dia mengerang sejadinya waktu satu diantara jariku menyentuh klitorisnya.

Lubang vagina Yeyen sangatlah basah waktu itu. Aku seperti telah kerasukan setan, dengan liar kukeluar-masukan satu diantara jariku di lubang vaginanya. “Aaooww, mass, een, naakk.. ” tuturnya mulai meracau. Mendengar itu, birahiku makin tidak teratasi saja. Perlahan-lahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya, serta kuarahkan sedikit untuk sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang sangatlah basah. “Aaoww, aaouuww, ” erangnya panjang waktu kepala penisku kusentuh-sentukan persis di klitorisnya. “Please, janganlah dimasukin Mas, ” pinta Yeyen, waktu aku coba mendorong batang zakarku ke vaginanya. “Nggak Ayah Yen, sebentaar saja, ” pintaku sedikit berbisik ditelinganya. “Yeyen takut Mas, ” tuturnya berbisik sembari tidak sedikit juga ia berupaya menghindari vaginanya dari kepala kontolku yang telah ada persis di mulut guanya. Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sesaat tangan kanannya seperti tidak ingin terlepas dari batang kemaluanku itu. Sekedar untuk membuatnya sedikit tenang, aku berniat tidak segera memasukan batang kemaluanku. Aku cuma memohon ia memegangi saja. “Pegang saja Yen, ” kataku perlahan.

 Yeyen yang waktu itu sesungguhnya telah tampak bernafsu sekali, cuma mengangguk perlahan sembari menatapku tajam. Remasan untuk remasan jemari yeyen di batang zakarku, serta kadang-kadang di buah zakarnya, membuatku kelojotan. “Aku telah tidak tahan banget Yen, ” bisikku perlahan. “Yeyen takut banget Mas, ” tuturnya sembari mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu. “Aahh, ” aku cuma menjawabnya dengan erangan karna enaknya dikocok-kocok oleh tangan lembut adik iparku itu. Kembali kami sama-sama berciuman, sesaat tangan kami repot dengan aktivitasnya semasing. Waktu berbarengan dengan ciuman kami yang makin memanas, aku coba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang vaginanya. Sekarang ini, Yeyen tidak berontak sekali lagi. Kutekan pantat dia supaya makin maju, serta waktu berbarengan juga, tangan Yeyen yang tengah meremas-remas pantatku perlahan mulai mendorongnya maju pantatku. “Kita sembari duduk, sayang, ” ajaku sembari menuntun dia ke kursi meja makan barusan. Aku ambil tempat duduk sembari merapatkan ke-2 pahaku.

Sesaat Yeyen kududukan diatas ke-2 pahaku dengan tempat pahanya mengangkang. Sembari kutarik supaya dia betul-betul duduk di pahaku, tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang tempatnya tegak berdiri itu supaya cocok dengan lubang vagina Yeyen. Ia kelihatannya tahu dengan maksudku, dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sembari berusaha mengepaskan tempat lubang vaginanya dengan batang kemaluanku. Serta bless, perlahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen. “Aahh, aaooww, mass, ” Yeyen mengerang sembari kelojotan tubuhnya. Kutekan pinggulnya supaya dia betul-betul menghimpit pantatnya. Dengan hal tersebut, batang kontolku juga juga akan melesak semua masuk ke lubang vaginanya. “Yeenn, ” kataku. “Aooww, ter, russ mass.., aahh.. ” pantatnya selalu memutar seperti inul tengah ngebor. “Ohh, nik, nikmat banget mass.. ” tuturnya sekali lagi sembari bibirnya melumati mukaku. Nyaris semua sisi mukanku waktu itu ia jilati. Untuk menyeimbangi dia, aku juga menjilati serta menghisap-isap puting susunya.

Darahku makin mendidih rasa-rasanya waktu pantatnya selalu memutar-mutar menyeimbangi pergerakan naik-turun pantatku. “Mass, Yee, Yeeyeen ingin, ” tuturnya terputus. Aku makin kencang menaik-turunkan pergerakan pantatku. “Aaooww mass, please mass” erangnya makin tidak karuan. “Yee, Yeyeen mauu, kee, kkeeluaarr mass, ” ia makin meracau. Namun mendadak, “Krriingg.. ” “Aaooww, Mas ada yang datang Mas.. ” bisik Yeyen sembari tanpa ada hentinya mengoyang-goyangkan pantatnya. “Yenn, ” nada seorang menyebut dari luar. “Cepetan buka Yenn, aku kebelet nih, ” nada itu sekali lagi, yang tidak beda yaitu nada Ratri kakaknya sekalian istriku.

“Hah, Mbak Ratri Mas, ” tuturnya terkejut. Yeyen seperti tersambar petir, ia segera pucat serta berdiri melompat mencapai celana dalam serta celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur. Sesaat aku tidak sekali lagi dapat berkata apa-apa, terkecuali secepat-cepatnya mencapai celana serta menggunakannya. Disamping itu nada bel serta teriakan istriku selalu menyebut. “Yeenn, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak ingin ke air nih, ” teriak istriku dari luar sana. Yeyen yang tampak cemas sekali, cepat-cepat menggunakan kembali celananya, sembari berteriak, “Sebentarr, sebentar Mbak.. ” “Mas buruan di pakai celananya, ” Yeyen masih tetap sempat melihatku serta mengingatkanku untuk secepat-cepatnya menggunakan celana.

Ia selalu lari ke arah pintu depan, sesudah di pastikan semua beres, ia buka pintu. Aku cepat-cepat lari ke arah ruangan tv serta segera merebahkan tubuh di karpet supaya tampak seakan-akan tengah ketiduran. “Gila, ” fikirku. “Huu, lama banget sich buka pintunya? Orang dah kebelet seperti gini, ” gerutu istriku pada Yeyen sembari selalu menyelong ke kamar mandi.

“Iya sori, aku ketiduran Mbak, ” kata Yeyen demikian istriku telah keluar dari kamar mandi. “Haa, leganyaa, ” tuturnya sembari mencapai gelas serta meminum air yang disodorkan oleh adiknya. “Mas Jeje mana Yen? ” “Tuh ketiduran dari barusan pulang ngantor di situ, ” kata Yeyen sembari menunjuk aku yang tengah berpura-pura tidur di karpet depan tv. “Ya ampun, Mas kok belum juga ubah pakaian sich? ” kata istriku sembari mengoyang-goyangkan badanku dengan maksud membangunkan. “Pindah ke kamar gih Mas, ” tuturnya sekali lagi. Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, supaya terlihat baru bangun beneran. Aku tidak segera masuk kamar, tapi menyolong ke dapur ambil air minum. “Lho tuturnya pulang nanti setelah magrib, kok baru jam 1/2 lima telah pulang? Anda pulang pakai apa? ” tanyaku berbasa-basi pada istriku. “Nggak jadi rapatnya Mas. Pakai taksi baru saja, ” jawab dia. “Lho, anda sekali lagi masak toh Yen? Kok belum juga kelar gini dah ditinggal tidur sich? ” kata istriku pada Yeyen sesudah lihat irisan-irisan tempe berantakan di meja dapur. “Mana berantakan, sekali lagi, ” tuturnya sekali lagi. “Iya barusan memang sekali lagi mo masak.

Tapi tidak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur saja deh, ” Yeyen berupaya menjawab sewajarnya sembari senyum-senyum. Sore itu, tanpa ada ganti bajunya dahulu, pada akhirnya istrikulah yang meneruskan masak. Yeyen menolong sekedarnya. Disamping itu, aku cuma cengar-cengir sendiri saja sembari duduk di kursi yang barusan kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh, walaupun belum juga pernah menjangkau puncaknya. “Waduh, kasihan Yeyen. Dia nyaris saja hingga klimaksnya walau sebenarnya baru saja, eh keburu datang nih mbaknya, ” kataku sembari nyengir lihat mereka berdua yang sekali lagi masak.

No comments:

Post a Comment